Kongo aka Cyril Phan tak pernah berdiam pada satu medium dalam melahirkan karya, entah itu di dinding, kanvas, jendela toko, bak sampah, pakaian, tas, scarf, perhiasan, botol sampanye, humidor (tempat cerutu), monil atau bahkan pesawat terbang. Ia juga turut berkolaborasi dengan label Perancis seperti Chanel, Hermes, Richard Mille, Daum dan La Cornue untuk memperlihatkan kemudahan beradaptasi akan tradisi Eropa. Seniman 51 tahun berdarah Perancis-Vietnam tersebut menyukai gagasan untuk mengolah objek keseharian dan mengubahnya menjadi sebuah karya seni, sesuatu yang membuat hidup menjadi lebih indah. Seniman yang mengawali karyanya dengan membuat graffiti ini mendapat reputasi akan karyanya yang menampilkan alfabet dengan lukisan dan teks. Ia telah membuat sesuatu menjadi standar baru, reinterpretasi berbagai macam medium dalam bahasa yang dipenuhi akan warna, bentuk dan huruf. Kini, ia memberi fokus pada darah Asia yang mengalir dalam dirinya, dengan rencana membuka studio di Singapura dan butik galeri di Hanoi untuk menyoroti kerajinan Asia Tenggara yang memberikannya sentuhan optimistik, enerjik dan sekaligus kesenangan. Kami duduk bareng dengan Kongo dan menanyakan beberapa hal, diantaranya bagaimana hidupnya selama krisis Covid-19, aksi peduli untuk masyarakat, dan rencananya di masa yang akan datang.
Seniman Urban Kongo dan Kisah Cintanya dengan Asia
Bagaimana hidup dalam masa karantina di Perancis sebagai upaya untuk memberhentikan penyebaran novel coronavirus?
Di bulan pertama dapat dikatakan bulan pemaksaan untuk beristirahat, yang membuat saya berhenti dari kesibukan di sepanjang 2019. Di bulan kedua, karena saya tinggal bersebelahan dengan studio, saya kerap pergi ke studio dan membuat karya di sana. Saya bekerja dalam format dan lukisan berukuran besar. Itu adalah momen yang benar-benar menginspirasi, khususnya menginspirasi saya untuk berterimakasih pada petugas kesehatan, yang mendedikasikan dirinyanya pada profesi yang menyelamatkan nyawa ribuan orang dalam kondisi yang menantang. Sehingga saya mengajukan proposal proyek ke rumah sakit di Paris: dengan mendonasikan lukisan saya kepada Hospitals of Paris – Hospitals of France Foundation, di mana mereka dapat melelangnya untuk penggalangan dana membantu rumah sakit yang membutuhkan. Inisiasi kedua saya adalah instalasi di Lariboisiere Hospital sebagai ucapan terima kasih pada petugas perawat, dan membuat digigraph dari karya ini, yang mana saya jual melalui situs saya, dan keuntungan dari penjualan semuanya akan didonasikan ke rumah sakit. Para petugas kesehatan ini tidak memliki masker dan mengenakan pelindung (PPE) yang sama saat mengobati pasien, ketika seharusnya mereka mendapatkan pelindung yang berbeda di setiap pasien. Mereka harus mengenakan pakaian pelindung yang biasa dipakai buat di dapur untuk itu. Ini sangat-sangat gila. Suatu yang mustahil terjadi di negara seperti Perancis. Oleh karenanya saya ingin memberikan sesuatu, tapi saya juga merasa tak berdaya. Sebagai seorang seniman, saya ingin memberi lebih, sehingga saya melakukan apa yang saya bisa dilakukan selama karantina. Saya menggambar dan melukis lebih banyak. Lebih mudah membuat karya karena banyak inspirasi dan saya berdiam di satu tempat ketika biasanya saya menghabiskan waktu untuk bepergian, bertemu banyak orang untuk proyek, dan ke luar negeri untuk memamerkan karya. Saya berdiam selama lebih dari dua bulan mengembangkan situs belanja online dan sesuatu yang saya ingin lakukan untuk berbuat lebih jauh.
Apakah subjek dari karya Anda turut berubah?
Saya membuat keseluruhan seri di atas kertas akan momen yang terjadi saat ini, berjudul ‘Confinement’ atau bisa juga disebut karantina atau kurungan, di mana saya memaksa diri saya sendiri untuk menggambar satu hari setiap hari untuk mengabadikan momen yang unik ini. Setelah beberapa generasi, kita tidak pernah mengalami jeda global seperti saat ini. Tak ada satu negara pun, individu, pemerintah atau hukum yang bisa membuat dunia berhenti seperti yang terjadi saat ini. Tentu saja ada konsekuensi yang cukup parah dibanding dunia sebelumnya, tapi ini dunia yang baru. Banyak hal yang terdampak, di mana planet juga akan mengalami jeda termasuk dalam hal polusi, bentuk baru komunikasi dan bentuk baru dalam konsumsi. Selama masa karantina, banyak Live event di instagram di mana seniman saling berbagi karya dan banyak kreasi yang tercipta lewat online, yang menurut saya menjadikannya menarik. Apakah pandemik itu baik atau tidak, saya tak bisa menjawabnya. Namun bagaimanapun, saya yakin dunia di 2021 tak akan lagi sama dengan 2019.
Apa peran yang bisa diambil seniman dalam konteks saat ini?
Di dunia yang gelisah seperti yang saat ini kita jalani, kita butuh sesuatu yang menawarkan akan kesenangan, yang bahagia, dan hal positif. Sebagai contoh, ketika saya stress, saya ingin minum segelas wine dan makan keju, ini bagian dari sisi Perancis saya. Bagi sebagian orang lain untuk menghabiskan waktunya, mereka bisa mengganti dekorasi rumah, dan saya pikir itu sesuatu yang juga mengatasi stress, memberi keinginan untuk hal baru. Apa yang bisa seniman tawarkan dalam konteks ini adalah membawa hal yang menyenangkan ke dunia dan menambah semangat positif. Ini menjadi penting, karena jika orang-orang menyaksikan berita terus menerus setiap waktu, mereka bertambah gelisah. Kita sudah mendapatkan berita seperti itu, entah benar atau hoax, melalui berbagai media termasuk media besar.
Bagaimana Anda berubah dari seni jalanan ke galeri, dan mendapat pengakuan?
Dengan banyak kebulatan tekad. Tapi, sebenarnya galeri seni bukanlah tujuan utama. Tujuan utama saya sebenarnya bagaimana terus mengekspresikan diri, untuk dilihat oleh sebanyak mungkin orang dan selalu mampu mengekspresikan karya di berbagai tempat sebanyak mungkin. Jadi, saya tidak akan puas hanya dengan galeri saja. Namun, saya senang jika mendapat pengakuan dan sukses.
Anda tidak menyebutnya kolaborasi dengan label, tapi lebih pada pertemuan antara dua kreator dari dunia berbeda. Apa maksudnya?
Semua kolaborasi yang saya terlibat dari berbagai bidang pada dasarnya adalah sebuah pertemuan. Saya bertemu dengan para pembuat keputusan yang dengannya kami saling bertukar gagasan, yang kemudian diikuti dengan penciptaan karya yang menjembatani kedua dunia kami tersebut. Itulah sebabnya kenapa setiap kolaborasi tidak pernah dikerjakan oleh tim pemasaran atau marketing. Lebih jauh, saya menolak 90 persen dari proyek ini jika sampai seperti itu. Saya pikir sukses sebuah kolaborasi pertama kali karena pertemuan, autentisitas, integritas terhadap penciptaan, lalu barulah bagian pemasaran. Itu bagian kerjaan saya, tapi itu datang setelahnya. Itulah sebabnya saya tidak suka menyebutkan kolaborasi dengan label, meski saya bekerjasama dengan label atau Richard Mille, jika disebut itu sebuah label. Tapi di luar itu semua, ini terkait visi dari seseorang. Visi ini mengambil alih dimensi label, tapi sebenarnya publik-lah yang melihat kami sebagai label, bukan diri kami sendiri. Buat kami, ini adalah adaptasi yang kami miliki dan bagaimana kami ingin menyampaikannya lewat berbagai cara. Faktanya, gagasan sebenarnya adalah bagaimana kami keluar dari zona nyaman dan mendorong respektif kami lebih jauh. Itu sebabnya saya tidak suka dengan sebutan ‘seni jalanan’ karena itu membatasi diri secara langsung dan mengurung hanya pada jalanan saja. Dan ini sudah di dalam darah, saya menghabiskan hampir 30 tahun membuat karya di jalanan, tapi buat saya, batasan tidak pernah ada. Itu sebabnya saya tidak mencampur antara pameran seni jalanan atau pameran bersama, bukannya saya melihat itu hal buruk, tapi saya melihatnya sebagai yang menjatuhkan, dan ketertarikan saya dalam 10 tahun terakhir adalah bagaimana menyodorkan karya saya ke dunia yang memberi efek kejut dan di luar itu semua untuk memberikan sesuatu bernilai. Bagi saya, grafiti selalu bertujuan untuk punya nilai mutu yang tinggi. Ketika kami menggambar dinding besar dengan MAC, kami punya kompetisi positif dengan seniman lain, dan kami ingin membuat mereka terkesan. Saya terus berkarya dengan energi yang sama, tapi membangun jembatan dengan dunia lain seperti dengan pembuatan jam tangan, sutra, kristal dan khususnya pada adaptasi akan yang tradisional. Sebagai contoh, kolaborasi saya dengan La Cornue, dua dunia yang sama-sama tak terduga. Gagasannya menghadirkan proses pembuatan piano, tapi lebih dari itu, ini lebih pada bagaimana melihat enamel dan metal bekerja, dengan mengeksplor orang-orang yang menghabiskan waktu dan dedikasinya akan keahlian yang mereka miliki. Inilah yang mendorong saya untuk berkarya dan apa yang saya ingin tunjukkan selama ini.
– Video oleh Aurielle Jioya
Anda juga bekerjasama dengan Antoine de Saint Exupery Youth Foundation untuk melukis pesawat vintage Nord 1000…
Tujuannya adalah untuk penggalangan dana yang digunakan untuk produksi buku seni taktil The Little Prince dengan gambar-gambar yang ditujukan buat yang tidak bisa melihat. Kakek saya buta. Ia mengalami kecelakaan di Vietnam dan kehilangan penglihatannya. Sewaktu kecil, saya membacakan koran buat dia, jadi ketika Saint Exupery Foundation mengajukan proyek ini, saya menerimanya karena ini sudah jadi arahan dalam hidup saya sebelumnya, dan ini juga untuk kebaikan orang lain. Saya percaya hal penting dalam hidup seseorang adalah berbuat kebaikan dan mampu menginspirasi orang lain.
Kapan Anda mulai mendalami hubungan kedekatan dengan Asia?
Saya separuh Asia. Ayah saya adalah orang Vietnam dan oleh karenanya saya selalu merasa terhubung dengan Asia, khususnya Asia Tenggara, karena ini sebagian besar keluarga saya. Di samping itu, saya memiliki kesempatan untuk bertumbuh antara Eropa, Afrika, dan Asia, sehingga saya benar-benar warga dunia.
Anda adalah salah satu seniman pertama yang menghadirkan seni jalanan di China. Bagaimana ini bisa terjadi?
Saya menggelar Eating Frogs Tour pada 2004 dengan sejumlah teman yang mengusung nama besar di grafiti, DJ- dan tarian yang menghadirkan hip-hop Perancis di Selatan China: Guangzhou, Shenzhen dan Hong Kong. Pada saat itu, saya bertemu anak 16 tahun bernama Fansack, seniman China yang memiliki gairah sangat besar, ia bilang ia memulai grafiiti di China pada 2000 dan telah menonton saya di beberapa dokumenter. Saya bilang padanya jika ia datang ke Perancis satu hari nanti untuk memberi kabar. Dua atau tiga tahun kemudian, saya menerima sebuah panggilan telpon darinya yang bilang bahwa ia di Perancis. Ia menjadi asisten saya dan saya tunjukkan akan karya-karya saya. Kini, ia kembali ke China, ke Chengdu, untuk membangun kariernya sendiri dan saya percaya ia adalah seorang seniman yang akan membuat suatu yang besar. Ia memulai kariernya sendiri hari ini karena ia melihat perkembangan saya dan mengetahui ke arah mana saya tuju, sehingga ia memposisikan dirinya sendiri. Ia mengenal grafiti selama pertumbuhannya di China. Adalah lucu bagaimana waktu berjalan, dan bagaimana tidak ada lagi batasan. Ini membuka diri dan banyak hal lainnya yang masih dapat dilakukan.
Kami telah melihat karya Anda di Jakarta, Singapura, Hong Kong, Shanghai dan lainnya. Mana yang menjadi pengalaman terbaik Anda di Asia? Kota besar mana yang jadi favorit Anda?
Setiap pengalaman sangat bernilai. Saya memiliki kedekatan dengan Singapura, yang memberi kesan saya akan modernitas visinya. Singapura diatur layaknya sebuah perusahaan dan setiap orang mengikuti alur yang sama. Saya menemukan hal menarik sebagai serorag Parisian di mana di sini semua ada di jalurnya. Kadang saya merasa baik jika ada batasan bagi hal-hal tertentu, dan Singapura mengesankan saya akan hal itul. Ada kualitas hidup di situ, yang sangat menarik. Saya juga suka Indonesia, khususnya Bali, di mana saya menemukan banyak hal terkait spiritualitas dan sedikit nuansa ketidakteraturan Paris. Saya juga suka Vietnam karena ini jadi bagian dari darah yang mengalir di tubuh saya. Saya menyukai Jepang akan modernitasnya, dan perubahan pemandangan yang ada di sana, serta visi mereka akan seni juga. Saya sangat terkesan dengan China, terutama akan kekuatannya, bagaimana ia mengatur diri untuk bangkit dan menjadi kekuatan besar di dunia, serta memahami bagaimana menghadapi antara politik, industri dan kapitalisme. Asia memberi kesan yang sangat besar buat saya, mereka progresif, berkembang cepat setiap harinya, punya kebulatan tekad dan positif. Saya menyukai Asia karena itu.
Ceritakan mengenai kolaborasi Anda dengan penjahit ternama Singapura, Kevin Seah.
Kevin adalah teman saya. Sekali lagi, ini adalah soal pertemuan. Saya menggelar pameran pertama saya di Singapura di 2012, dan Kevin saat itu bekerja di gedung yang sama. Kevin adalah orang yang berpenampilan baik dan sangat British, tapi di saat yang sama ia juga seorang skateboarder yang mengerti budaya urban. Saya terkesan dengan pengetahuannya, semua jas yang ia pakai dijahit tangan. Ia meminta saya membuat lukisan dan saya minta jaket sebagai imbalan, dan dari situlah semua berawal. Ia membuatkan saya jaket denim, dan untuk bagian dalamnya, ia menggunakan scarf sutra yang saya buat untuk Hermes. Itu sangat chic dan casual di saat yang sama. Saya menyukainya. Kemudian ia membuatkan saya jaket camouflage. Lalu kami memiliki ide membuat jaket dari kanvas linen yang saya lukis. Tapi itu bukan linen yang sama dengan yang saya gunakan buat lukisan saya, tapi lebih kaku. Sementara, ia memiliki linen yang sangat berkualitas baik, jadi saya tidak bisa melukis banyak di atasnya. Ia mengirimkan saya linen tersebut ke Paris, dan saya melukisnya, lalu mengirimkannya kembali ke Singapura. Ia menginterpretasi lukisan saya, mengguntingnya lalu membuat jaket. Yang khas dari itu adalah lukisan penuh warna di mana terdapat tanda nama Kevin Seah, Kongo, Kevin Seah, Kongo, Kevin Seah. Kami membuat tiga atau empat jaket unik. Mereka karya seni berharga yang bisa kamu kenakan. Kami melakukan itu di 2013, kemudian saya membuat koleksi dengan Karl Lagerfeld di 2019, tapi apa yang saya lakukan untuk Kevin lebih berharga karena semuanya orisinal. Chanel mengusung koleksi yang menakjubkan yang mereka tempatkan di toko mereka di seluruh dunia. Itu pengalaman yang luar biasa. Tapi saya tidak membuat koleksi buat Chanel. Saya bertemu Karl yang menawarkan saya untuk membuat keseluruhan seri lukisan di studionya di Quai Voltaire, dan saya memilih lukisan untuk dibuatkan baju dan tas. Ini benar-benar pertemuan antar kreator.
Setelah sukses pembukaan studio pop-up di salah satu kawasan termahal di Paris pada 2017, Anda membuka satu di Singapura juga….
Pada November 2018, saya menemui Kevin Seah di Singapura dan saya bilang padanya akan pengalaman workshop sementara saya di Rue Francois 1er di 8th arondisemen. Ia bertanya kenapa saya tidak melakukannya di Singapura? Saya bilang saya tidak memiliki tempat dan saya tak ingin melakukannya di galeri. Ia minta saya melihat-lihat, di mana terdapat beberapa tempat yang tersedia. Ia mengenalkan saya pada pemilik gedung The Mill, Roy Teo, yang memberikan saya ruangan untuk membuat workshop selama satu bulan, jadi saya membuat konsep pop-up studio. Entah bagaimana, itu tak lagi menjadi workshop sementara, karena saya meneruskannya hingga akhir menjadi studio atau atelier-showroom saya di Singapura karena saya merasa nyaman di Singapura dan berencana untuk menetap untuk membuat karya dan meneruskan perjalanan menyusuri Asia. Itu akan menjadi studio pribadi saya yang tidak terbuka buat publik, tapi menjadi tempat pertemuan, dengan membuat janjian terlebih dahulu.
Boleh ceritakan lebih jauh akan butik yang Anda buka dalam waktu dekat di Hanoi.
Beberapa orang Vietnam bertanya pada saya kapan kembali ke Vietnam. Di awal, saya masih ingin tak ingin karena saya tidak tahu pasti apa yang saya hadapi. Akhirnya, saya memutuskan untuk melakukannya, jadi saya bekerjasama dengan seorang penasihat keuangan yang membuka butik label Cyril Kongo untuk saya sebagai upaya memberi fokus pada seniman Vietnam dan Asia Tenggara. Ia mendekati saya dan mengatakan bahwa dari semua keluarga Vietnam, baik di utara dan selatan, terdapat anggota keluarga yang merantau ke negara lain, menjadi migran di Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Eropa, dan bepergian jauh. Namun, katanya, “Dalam hal ini, Anda berbeda dan spesial karena semua orang Vietnam dan Asia yang sukses, mengonsumsi label yang telah bekerjasama dengan Anda. Oleh karenanya, Anda layaknya seperti pahlawan bagi mereka, karena Anda pergi. Kami tahu sangat baik akan apa yang dirasakan keluarga Vietnam yang pergi jauh meninggalkan negara mereka, menderita untuk balik lagi, tapi sangat sedikit yang sukses seperti yang Anda raih: seperti sukses berkolaborasi dengan Richard Mille, Chanel dan lainnya. Ini merupakan perjalanan luar biasa karena Anda adalah pengungsi politik, imigran, tanpa bisa bahasa Perancis dan kini di separuh hidup Anda, Anda diakui label besar yang bagi kami adalah sebuah pertemuan yang berharga. Kamu membuat kami bangga dan kami ingin memberikan kamu kesempatan untuk mengekspresikan diri di Vietnam.” Jadi begitulah kemudian dibangunnya galeri toko ini. Saya menawarkan lukisan asli dan kreasi saya, tapi juga ingin membangun adaptasi karya di Asia Tenggara, misalnya dengan lukisan lacquer Vietnam, dan batik Indonesia. Saya akan berkeliling Asia Tenggara dan menginterpetasi ulang (seperti saya menginterpretasi keahlian tradisional Perancis melalui karya saya dengan Daum atau La Cornue) kerajinan atau karya seni khas Asia Tenggara. Saya ingin menyoroti karya hebat tradisional yang kita miliki di kampung halaman yang kita bangga akannya, tapi karena mungkin akan tampak jadul, saya memberikan visi kontemporer di dalamnya. Sebagai contoh, keramik sang-de-boeuf, saya ingin memberikan sentuhan saya pada mereka. Batik, yang sangat tradisional dan khas, saya ingin mengolah-ulangnya. Saya akan menghadirkan semuanya secara eksklusif di butik saya di Vietnam, dan akan membuat situs jual online yang terhubung dengan toko ini. Saat ini masih dalam tahap pengembangan, dan dijadwalkan buka pada awal September.
Bagaimana dengan karya lukisan Anda yang terbaru?
Lukisan karya saya terbaru dibuat berdasarkan reinterpretasi akan sajak Charles Baudelaire berjudul Hymne a la Beaute (Hymne to Beauty), yang merupakan bagian dari Les Fleurs du Mal (The Flowers of Evil). Ini merupakan lukisan yang membutuhkan banyak waktu dalam pengerjaannya, yang juga membutuhkan banyak energi. Tapi saya selalu bekerja membuat beberapa lukisan di saat yang sama, karena kalau tidak begitu, saya akan merasa mudah bosan. Kadang, ketika saya sedang menyelesaikan satu lukisan, saya meninggalkannya untuk beberapa waktu. Dengan Hymne a la Beaute, saya memulai sketsanya November lalu, dan kemudian saya sudah bergelut dengannya kurang lebih delapan bulan. Saya kembali lagi mengerjakannya secara rutin, setidaknya sepekan atau 15 hari setiap bulan, tapi ada satu momen ketika saya tidak lagi bisa melakukannya karena itu benar-benar besar. Ukurannya dengan lebar 4 meter dan tinggi 4,5 meter, serta penuh dengan huruf-huruf kecil, jadi membutuhkan banyak waktu dan kerja.